Minggu, 13 November 2011

Way Of Life


Ali Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menuturkan:

Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme. Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini." "Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran. "Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad, perang suci, dan terorisme?"

Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang." Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.

Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.

Beberapa tahun terakhir ini, konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa Islamlah yang menyebabkan semua itu.

Pemahaman semacam itu bukan saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira, satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.

Kini saatnya untuk bertanya: Apa sih artinya menjadi seorang Muslim? Kalau Anda pakai Islam sebagai ideologi politik, maka menjadi perlu untuk mendefinisikan siapa Muslim itu, bagaimana perilaku Muslim dan juga yang bukan Muslim. Dan kalau analisis dan pemahaman semacam ini Anda teruskan, maka Anda mendekati bahaya menafsirkan Islam secara bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

Al-Quran menyebut bahwa tak ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya shalat lima waktu. Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi shalat jika waktunya tiba. Itu bukan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai alat politik.

Di banyak tempat di dunia Muslim, Anda temukan negara-negara yang mencoba mendefinisikan siapa Muslim dan siapa yang bukan Muslim, dan juga bagaimana perilaku yang Islami. Tetapi, di negeri ini, Amerika, Anda dapat menjadi seorang Muslim dan membicarakannya dengan sesama Muslim, tanpa ada seorang pun yang memaksa Anda untuk bergabung dengan kelompok mana pun. Inilah salah satu kehebatan Muslim di sini.

Dalam beragama, Anda membutuhkan dinamika, dan saya kira inilah yang sedang terjadi di Amerika. Bagi kelompok imigran, Islam masih merupakan tradisi dan istilah yang relatif baru. Dan masyarakat terus menerus melakukan pembenahan, belajar mengorganisasi kemajemukan dalam Islam. Ada usaha untuk lama-lama menyadari bahwa untuk menjadi seorang Muslim, kita dapat melalui banyak jalan, tanpa harus menghakimi satu lama lain.

Jihad saya sendiri meliputi dua hal: pertama, memahami standar ganda bagaimana Islam digambarkan di Barat; dan kedua, perjuangan untuk membuat kaum Muslimin memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi Muslim. Syahadat itu ibarat sebuah tali yang menyatukan biji-biji tasbih. Semuanya tergabung menjadi satu dengan tali itu. Meskipun warnanya berbeda satu sama lain, biji-biji itu tetap merupakan satu kesatuan.

American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York

0 komentar:

Posting Komentar