Kamis, 21 Januari 2010

Habis Gendut Sakitlah Jantung

Bertambahnya usia membawa konsekuensi menurunnya hormon. Akibatnya tubuh menjadi gampang gendut dan menurunnya berbagai fungsi tubuh. Keadaan ini tidak dapat lagi dianggap biasa, karena tubuh yang menggemuk memiliki risiko untuk mengalami sakit jantung lebih tinggi. Karena itu, upayakan agar tubuh tetap ramping melalui pencegahan ataupun cara penanggulangan yang aman.

Menjelang usia 50 tahun, Dewi merasakan berat badannya jadi gampang bertambah. "Makanan yang saya makan sama, aktivitas saya juga relatif sama dibanding tahun-tahun sebelumnya, tapi sekarang saya lebih gampang gemuk," ujar wanita aktif ini.

Dewi tidak sendirian. Umumnya wanita akan memiliki keluhan yang sama ketika usianya mendekati pertengahan. Hal ini berkaitan dengan menurunnya produksi hormon estrogen (hormon wanita), yang menurut Prof. DR. Ichramsjah A. Rachman, Sp.OG, mulai terjadi pada usia 35 tahun, yang disebut sebagai masa klimakterium.

Pada awalnya akibat dari penurunan hormon itu belum begitu dirasakan. Namun, perlahan-lahan akan makin terasa pada usia 45-an tahun. Menjelang menopause, Dewi makin merasakan bahwa pertambahan berat badan sangat mudah terjadi.

Penurunan produksi hormon bukan hanya dialami Dewi dan wanita-wanita lainnya. Para pria juga mengalami penurunan hormon testosteron (hormon pria), seiring dengan bertambahnya usia. Karena itu, penurunan fungsi tubuh juga terjadi pada pria yang menua, yang antara lain menyebabkan berat badan gampang bertambah.

Efek penurunan hormon

Menurunnya hormon estrogen maupun testosteron membuat kemampuan tubuh untuk menyerap makanan menjadi berkurang. Itu sebabnya makanan yang dikonsumsi akan cenderung, ditimbun sebagai lemak. Pertambahan berat badan itu, baik pada pria maupun wanita, umumnya terjadi di sekitar perut.

Bila selama masih menstruasi risiko wanita untuk mengalami sakit jantung lebih rendah dibanding pria, ketika produksi hormon estrogen terhenti setelah menopause, maka risiko wanita untuk mengalami sakit jantung menjadi lebih tinggi.

Menurut pakar kedokteran antipenuaan dari Universitas Udayana, Bali, Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., sebagai suatu penyakit, proses penuaan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama adalah usia 25-35 tahun, yang disebut fase subklinis, di mana hormon tubuh mulai mengalami penurunan: hormon testosteron, hormon pertumbuhan, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas yang merusak sel maupun DNA mulai berdampak terhadap tubuh, namun masih sulit dideteksi, sehingga yang bersangkutan akan merasakan dirinya normal saja.

Fase kedua adalah usia 35-45 tahun, yang merupakan fase transisi. Pada fase ini kadar hormon bisa menurun sekitar 25 persen. Akibatnya massa otot akan berkurang beberapa kilogram, sehingga kekuatan dan energinya pun menurun. Sementara itu, jumlah lemak tubuh terus meningkat, sehingga terjadi resistensi insulin dan timbulnya risiko obesitas dan penyakit jantung.

Beberapa gejala klinis mulai muncul pada usia ini, antara lain menurunnya pendengaran, rambut berubah warna, berkurangnya elastisitas dan pigmentasi kulit, serta menurunnya hasrat dan sensitivitas rangsangan seksual. Kerusakan akibat radikal bebas mulai tampak, antara lain menurunnya daya ingat, gangguan artritis, kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

"Pada usia 45 tahun ke atas, penurunan hormon terus berlanjut, termasuk hormon DHEA, melatonin, hormon pertumbuhan, testosteron, dan estrogen, dengan meningkatnya risiko penurunan hormon tiroid. Pada usia ini tubuh juga kehilangan kemampuan untuk menyerap nutrisi secara penuh," papar Prof. Wimpie, salah satu pendiri Perhimpunan Kedokteran Antipenuaan Indonesia (Perkapi).

Pada usia ini kepadatan tulang juga menurun. Bahkan, tubuh kehilangan akselerasi otot sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori. Inilah yang menyebabkan berat badan dan lemak tubuh gampang bertambah.

Sejumlah penyakit kronis pun mulai bermunculan, kegagalan fungsi organ mulai terjadi, dan ketidakmampuan seksual menjadi masalah yang banyak dihadapi oleh pasangan di usia ini.

Sindrom metabolik bikin jantungan

Sindrom metabolik dan obesitas oleh para pakar dipastikan telah menjadi masalah kesehatan di banyak negara. Tak lain karena sindrom metabolik berkaitan dengan risiko diabetes melitus (yang menimbulkan risiko penyakit jantung) dan penyakit kardiovaskular, atau dikenal dengan istilah risiko kardiometabolik (yang juga menyebabkan penyakit jantung).

Sindrom metabolik sendiri, mengutip Prof. Marzuki Suryaatmadja dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, didefinisikan sebagai seperangkat faktor risiko yang berkaitan dengan meningkatnya kemungkinan sakit jantung, stroke, diabetes, atau kombinasinya. Beberapa faktor yang menyumbang sindrom metabolik antara lain kelebihan berat badan, fisik tidak aktif, dan faktor genetik.

"Orang dengan sindrom metabolik memiliki risiko 65 persen lebih besar mengalami kematian akibat penyakit jantung koroner," ungkapnya dalam simposium ilmiah nasional Perkapi belum lama ini.

Karena itu Prof. Marzuki mengingatkan, pemeriksaan laboratorium berperan penting untuk deteksi dini, diagnosis, dan pemantauan perjalanan penyakit serta hasil penatalaksanaan sindrom metabolik ini.

Menghadapi berbagai persoalan penuaan tersebut di atas, kini ilmu kedokteran telah memiliki berbagai solusi, antara lain terapi hormon, pengobatan, pengaturan makan, olahraga, dan sebagainya. Namun, berkaitan dengan pertambahan berat badan, harus dilakukan pendekatan secara khusus pula.

Hal ini mengingat obesitas maupun overweight juga berkaitan dengan risiko kesehatan, antara lain fungsi kelainan kardiovaskular yang menimbulkan penyakit hipertensi, diabetes melitus, jantung koroner, dan sebagainya.

Cegah dan atasi kegemukan

"obesitas adalah suatu penyakit berbahaya. Apa pun sebab dan alasannya, adalah akibat adanya perilaku makan yang keliru. Penyakit ini tergolong kronis, dan penanggulangannya sangat sulit. Oleh karenanya lebih akan berhasil guna dengan melakukan upaya pencegahan dini, yakni pada saat pasien masih dalam kondisi overweight," sebut Prof. Dr. Walujo Soerjodibroto, Ph.D, pakar kedokteran gizi dari Universitas Indonesia.

Seseorang disebut obesitas jika timbunan lemak terjadi merata di seluruh tubuh, sedangkan overweight menunjuk pada pertambahan berat badan pada bagian-bagian tubuh tertentu, seperti di sekitar perut, paha, dan lengan.

Melakukan pengaturan makan merupakan langkah yang tidak dapat ditinggalkan dalam terapi mengatasi obesitas maupun overweight. Tapi, menurut Prof. Walujo, mereka yang sudah telanjur obesitas adalah orang yang tidak disiplin. Karena itu, "Teori klasik di mana pengetahuan akan memperbaiki mindset, yang pada gilirannya akan memperbaiki perilaku makan, tidak berlaku pada pasien obesitas," katanya.

Perilaku yang diharapkan harus dipaksakan kepada mereka. Salah satu cara cepat dan aman yang diterapkan Prof. Walujo di klinik untuk menghasilkan perubahan mindset adalah dengan hipnosis, di samping bantuan obat.

Selain pengaturan makan, mereka yang kelebihan berat badan maupun obesitas harus melakukan latihan fisik teratur dan terukur. Latihan ini bukan hanya akan membakar kalori agar tidak menumpuk sebagai lemak, melainkan juga bakal menghasilkan perubahan positif dalam lingkup kardiovaskular, penyerapan oksigen, metabolisme, dan berbagai efek kesehatan umum maupun kondisi psikologis yang lebih positif.

Singkat kata, menua lalu menggemuk itu bukan kondisi yang dapat dibiarkan. Bila ingin tetap sehat dan produktif hingga usia tua, kegemukan harus dicegah sejak dini dan diatasi sebelum berlanjut menjadi obesitas.

Sindrom Metabolik Bisa Dicegah

Tak dapat dipungkiri lagi, kegemukan berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular. Di antara sejumlah penyebab sindrom metabolik (seperangkat faktor yang berkaitan dengan meningkatnya kemungkinan sakit jantung, stroke, diabetes, dan kombinasinya), kegemukan merupakan penyebab yang patut diwaspadai seiring dengan pertambahan usia, selain kurang aktifnya fisik dan diet tinggi karbohidrat.

Melihat faktor-faktor tersebut, semuanya bukan faktor yang tak dapat diubah. Artinya, semua faktor penyebab sindrom metabolik dapat dicegah dan diatasi atau dihilangkan dengan terapi tertentu.

Menurut Prof. Dr. Maryantoro Oemardi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah menghilangkan penyebab melalui perubahan gaya hidup. Antara lain adalah dengan pengaturan makan untuk mengurangi asupan kalori dan menghilangkan kelebihan berat badan, serta latihan fisik untuk menghilangkan ketidakaktifan fisik.

Seseorang disebut mengalami overweight jika indeks massa tubuhnya (IMT) lebih dari 25, dan disebut obesitas jika IMT lebih dari 30. Adapun IMT dihitung dengan rumus: berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.

Berkaitan dengan pengaturan ulang bagi yang kelebihan berat badan, khususnya jika obesitas, menurut Prof. Dr. Walujo Soerjodibroto, diperlukan upaya paksa, mengingat penderita obesitas cenderung tidak memiliki disiplin dalam hal makan. Karena itu, diperlukan perubahan mindset menuju perilaku,makan yang sehat, melalui modifikasi perilaku.

"Upaya ini sangat tidak mudah, karenanya memerlukan kesabaran, ketelitian, dan kemauan yang kuat dari pasien maupun dokternya," ujar Prof. Walujo.

Untuk meningkatkan keberhasilan, sistem reward dan punishment diberlakukan. Kalau program diikuti akan merasa nyaman dan berat badan turun sesuai rencana. Jika tidak disiplin, akan tidak menyenangkan.

Terapi lain diperlukan untuk mengatasi faktor risiko yang berkaitan dengan tingginya kadar lemak dan bukan lemak (misalnya tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi). Seperti disarankan oleh Prof. Marzuki Suryaatmadja, pemeriksaan laboratorium hendaknya menjadi solusi untuk deteksi dini, diagnosis, dan pemantauan perjalanan penyakit, berikut penatalaksanaan sindrom metabolik.

Pemeriksaan laboratorium utama yang diperlukan adalah kadar trigliserida, kadar kolesterol HDL, dan glukosa puasa. Pemeriksaan tambahan yang penting untuk dilakukan adalah kadar kolesterol total, small dense LDL, rasio apoA1/apoB, homosistein, mikroalbuminuria, dan kadar insulin dalam darah puasa.

Karena obesitas juga menimbulkan risiko proinflamasi dan protrombotik, bagi yang telah mengalami obesitas juga disarankan untuk melakukan pemeriksaan parameter inflamasi hs-CRP, parameter protrombotik fibrinogen, dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1 ). Dan karena sel adiposa juga diketahui mengeluarkan adiponektin yang berguna untuk mengimbangi resistensi insulin, perlu pemeriksaan kadar adiponektin darah.
portal.cbn.net.id

0 komentar:

Posting Komentar